Minggu, 23 September 2012

Dimana Kita Berdiri Tidaklah Penting

 Dimana kita berdiri itu tidaklah penting, yang penting kemana kita akan Melangkah.
Siapa diri kita sekarang tidak penting, yang penting kita mau menjadi Siapa dengan pribadi yang bagaimana.
Siapa Orang Tua kita tidaklah penting, yang penting kita mau menjadi Anak yang bagaimana.
Masa lalu tidak penting, yang penting Hari ini dan Esok.
Bagaimana orang memandang kita tidaklah penting, yang penting bagaimana Kita memandang Orang lain, dan bagaimana kita memandang Diri Kita Sendiri.
Berapa besar Kepercayaan orang ditentukan oleh berapa besar Kejujuran dan Kredibilitas kita.
Buah yang bagaimana yang akan kita Petik ditentukan oleh bagaimana kita menanamnya.
Bagaimana sekarang kita Berproses, inilah yang akan menentukan Hasil Akhir dari semuanya.
Jangan kita mengharapkan orang lain, suami atau istri untuk Berubah, jika Kita sendiri belum mau berubah Positif (sikap,kata-kata,pola pikir).
Sukses tidak selalu diukur dengan harta atau popularitas.
Sukses juga diukur  “Kesehatan Mental”.
Maka buang sikap iri, sombong, serakah, sok pintar, sirik dan lain-lain 8) .

Menggapai Asa

Semenjak kecil aku sudah ditinggal pergi kedua orang tuaku. Tak ada ayah disampingku, tak ada seorang bunda  yang  menyayangi, mengasihiku setiap detik. Tak ada seseorang yang menimang nimangku dikala aku terlelap, membacakan cerita dongeng sebagai penghantar tidurku untuk menggapai mimpi  indah di malam-malamku. Karena pada saat itu ayah dan ibuku telah tiada. Ayahku telah meninggal ketika aku masih ada dalam kandungan. Sementara ibuku  juga memiliki nasib yang sama. Beliau  meninggal ketika melahirkanku kedunia ini, mempertaruhkan nyawanya demi sang buah hati tercinta untuk menikmati hidup di dunia yg gemerlap ini.
Pada saat, itu aku belum mengetauhi sesuatu yang terjadi dalam hidupku. Sehingga pada saat aku masih bayi. Aku diasuh oleh kedua paman dan bibiku. Mereka sangat mengasihi dan menyayangiku. Walaupun aku ini tak lain dan tak bukan adalah keponakanya. Mereka menggapku seperti anak mereka sendiri. Karena sampai saat ini pun mereka juga belum dikaruniai seorang buah hati kecil yang mereka idam idamkan di tengah keluarga kecil mereka yang harmonis dan penuh kehangatan.
Ketika sudah beranjak umur 7 tahun, bibiku memasukan ku ke sebuah sekolah yang tidak jauh dari rumah kami . Setiap hari aku berngkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Setiap pagi aku tidak lupa untuk membantu bibiku mempersiapkan daganganya. Maklum kami ini hanya keluarga  kurang mampu. Pamanku hanya seorang tukang sol sepatu. Penghasilanya pun juga tidak cukup besar. Hanya dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari hari. Sementara bibiku hanya seorang penjahit. Namun terkadang  juga sebagai penjual makanan kecil yang dijual di sekitar rumah untuk menambah sedikit penghasilan. Aku merasa kasihan melihat paman serta bibiku bekerja kesana kemari membanting tulang demi mencukupi kebutuhan hidup  sehari- hari serta  membiayai keperluan sekolahku.
Dengan kondisiku seperti ini, aku bertekad dalam hati yaitu belajar dengan sungguh-sungguh agar nantinya aku dapat menjadi orang yang sukses yang dapat membahagiakan dan membanggakan kedua orang tua, paman, serta bibiku. Walaupun aku dibesarkan dalam keluarga yg kurang mampu, namun aku tumbuh menjadi anak yg normal, sehat jasmani dan rohani seperti anak-anak lainya .Biasanya aku pergi ke sekolah dengan  membawa beberapa macam makanan ringan yang  kubuat bersama bibiku. Setiap hari aku menjualnya di sekolah dimana aku belajar. Aku tidak malu meskipun semua orang-orang melihatku dengan tampang sinis. Namun mengapa aku harus malu? apakah urusanku dengan mereka ? aku tidak perlu malu, karena yang aku lakukan ini juga tidak salah. Tak lain dan tak bukan adalah untuk membantu kehidupan keluargaku. Membantu paman dan bibiku tecinta.
Ketika bel istirahat dibunyikan semua siswa berhamburan kemana-mana. Ada yang bermain petak umpet, kelereng, dan ada pula yang berkejar kejaran seperti anjing dan kucing. Mereka semua bergembira bersorak ria. Nah inilah saat  yang aku tunggu-tunggu. Aku kesana kemari bagaikan orang yang kebinggungan. Mengapa? karena pada jam istirahat seperti ini merupakan kesempatanku guna memperoleh pembeli untuk menjual makanan ringan buatan bibiku yang biasa kami buat setelah sholat subuh. Atas sikap yang aku lakukan beberapa dari temanku memberikan semangat. Tapi ada juga yang tidak suka dengan apa yang aku lakukan. Mereka sinis terhadapku.
              
 Apakah yang  aku lakukan ini salah? aku bertanya pada diriku sendiri  dalam angan angan ku? . Mereka selalu mengejekku dan menjahiliku. Itu semua mereka lakukan karena mungkin mereka iri melihatku. Karena meskipun aku dari keluarga anak yang kurang mampu tapi prestasiku jauh lebih baik daripada mereka. Atau mungkin mereka jijik denganku karena aku ini  tidak selevel dengan mereka. Karena maklum mereka berasal dari keluarga terpandang, terhormat. Sementara aku tidak. Terkadang aku juga merasa jengkel dan kesal kepada mereka karena mereka selalu meremehkanku, mengejekku setiap saat. Tapi kemudian aku kembali berfikir. Mengapa aku memperdulikan mereka? Aku tidak usah memperdulikan mereka. Apapun yang mereka katakan bagiku itu tidak penting. Karena ada teman temanku yang selalu menyemangatiku. Teman yang selalu hadir dalam suka maupun duka. Selain itu kekayaan, martabat yg mereka miliki  sekarang ini bukanlah semata mata milik mereka. Namun milik kedua orang tua  yang selalu mereka puja puja demi harga diri yang mereka punya sekarang ini.